Hawa Nafsu Melawan Ibadah - Siapakah yang mengeluarkan mereka untuk berjihad? Bukankah dengan Kitabullah (Al-Qur’an) dan peran Rasulullah saw sang Penunjuk Jalan?
Sesungguhnya orang yang menjadikan hidupnya hannya untuk memenuhi nafsu syahwatnya bukanlah seorang hamba Allah yang hakiki, tetapi dia hanyalah seorang hamba nafsu syahwatnya.
Allah swt telah berfirman:
“Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut:69)
Maksudnya, orang-orang yang berusaha untuk mengetahui dan memahami, niscaya Allah akan memahamkannnya.
Orang-orang yang menginginkan pemahamannya terhadap agama, niscaya Allah akan memberikan kepahaman kepada mereka. Orang-orang yang menginginkan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat, niscaya Allah akan menjadikan mereka sebagai hamba pilihan Nya. Hal ini sesuai firman Allah swt di dalam hadist Qudsi:
“Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka dia telah berani untuk mengumumkan perang dengan-Ku. Tidaklah seorang hamba-Ku, bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Ku dengan amal ibadah yang lebih Akucintai selain daripada yang Aku wajibkan kepadanya. Selagi hamba-Ku itu mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku mencintainya. Maka jika Aku telah mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengaran yang dia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi tangan yang dia memukul dengannya, dan menjadi kaki yang dia berjalan dengannya. Kalau ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya. Kalau ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari)
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hadist ini, beliau berkata, “Hadist ini membagi umat manusia menjadi dua bagian, yaitu: Sabiqun bil Khairat, orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan (orang yang amal kebaikannya sangat banyak dan amal kejelekannya amat sedikit) dan Muqtashid, orang yang pertengahan (orang yang seimbang anatara amal kebaikan dengan amal kejelekannya). Sementara Zhalimu li Nafsih, orang yang berbuat aniaya kepada dirinya sendiri, dia telah melalaikan dan tidak peduli dengan dirinya.”
Allah swt berfirmnan:
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir:32)
Orang yang berbuat aniaya kepada dirinya sendiri akan tetap menjadi seorang muslim dalam komunitas kaum muslimin. Meskipun dia melakukaj dosa-dosa besar dan berbuat kemaksiatan. Hal itu tidak akan mengeluarkannya dari agama Islam, kecuali pemahaman kaum Khawarij.
Orang yang pertengahan adalah orang yang hanya melakukan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi dosa-dosa besar. Akn tetapi dia meninggalkan ibadah-ibadah sunnah serta melakukan perkara-perkara yang makruh.
Sedangkan orang yang lebih dahulu melakukan kebaikan—kita memohon kepada Allah , semoga dengan keutamaan-Nya, kita termasuk dalam golongan ini—adalah orang yang melakukan ibadah-ibadah wajib, sunnah dan ibadah yang dianjurkan serta meninggalkan dosa-dosa besar. Menjauhi perkara-perkara yang terlarangdann yang makruh. Allah berfirman:
“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Jumu’ah:4)
Sumber:
Buku Selagi Masih Muda - Dr. A’idh Al- Qarni, M.A.